Pada hari Rabu, 20 Januari 2024, Program Studi Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Jakarta menyelenggarakan kegiatan pembelajaran melalui program serial Pendidikan ekonomi dengan tema “Implementasi dan Miskonsepsi Kurikulum Merdeka” yang berlangsung di Virtual Zoom Meetings. Pada kegiatan ini, dihadirkan Bapak Dr.Suparno, S.Pd.I., M.Pd. selaku Kaprodi Pendidikan Ekonomi, yang menjadi penyelenggara kegiatan ini. Selain itu, dihadirkan juga Bapak Dya Marulina, S.Pd selaku komite pembelajaran sekolah peggerak sebagai narasumber utama pada kegiatan pembelajaran ini.
Kegiatan ini diawali dengan peserta masuk ke dalam ruang zoom pukul 10.00 WIB. Selanjutnya dilakukan pembukaan kegiatan oleh MC, pembacaan doa, dan sambutan dari Bapak Suparo S.Pd.I., M.Pd. selakuketua koorprodi. Pukul 10.30 WIB kegiatan dimulai dengan sesi penjelasan materi “Implementasi dan Miskonsepsi Kurikulum Merdeka” oleh narasumber. Pada materi tersebut disampaikan Implementasi Kurikulum Merdeka seringkali disertai dengan miskonsepsi yang perlu diluruskan. Salah satu miskonsepsi utama adalah menganggap ganti kurikulum sebagai tujuan utama. Seharusnya, kita melihat Kurikulum Merdeka sebagai alat untuk mencapai pemulihan pembelajaran, bukan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Fokus pada pergantian administratif, seperti istilah atau format dokumen, dapat mengalihkan perhatian dari upaya peningkatan kualitas pembelajaran.
Miskonsepsi berikutnya terkait dengan penilaian penerapan Kurikulum Merdeka sebagai benar atau salah secara mutlak. Setiap satuan pendidikan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga keberhasilan penerapan seharusnya dinilai dalam konteks, berfokus pada bagaimana kurikulum mampu merangsang perkembangan karakter dan kompetensi peserta didik.
Selanjutnya, ada anggapan bahwa implementasi Kurikulum Merdeka bergantung pada pelatihan dari pusat. Padahal, satuan pendidikan dan guru dapat mengambil inisiatif untuk mengembangkan kapasitas sendiri. Pelatihan tidak bersifat seragam, dan satuan pendidikan dapat mencoba memahami serta menerapkan konsepnya sesuai dengan konteksnya masing-masing.
Miskonsepsi lainnya adalah ekspektasi terhadap proses instan dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Sebenarnya, tidak ada proses belajar yang instan, terutama untuk penerapan kurikulum baru yang kompleks. Penting bagi guru dan sekolah untuk memahami bahwa implementasi memerlukan waktu, dengan kemungkinan adanya hambatan dan perbaikan berkelanjutan.
Terakhir, ada pemikiran keliru bahwa hanya sekolah dengan fasilitas lengkap yang dapat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Padahal, kurikulum ini bersifat fleksibel dan dapat dioperasionalkan sesuai dengan kebutuhan di sekolah mana pun, termasuk sekolah dengan fasilitas minim. Kesiapan dan dukungan seluruh warga sekolah menjadi kunci keberhasilan dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Bu Dyah juga mejelaskan komponen minimum dalam modul pembelajaran sejumlah komponen esensial perlu diperhatikan guna mendukung proses pembelajaran yang efektif. Pendahuluan modul menjadi titik awal yang krusial. Di sini, judul modul memberikan gambaran singkat tentang topik atau materi yang akan dibahas. Adanya tujuan pembelajaran yang jelas memandu siswa untuk memahami ekspektasi yang diharapkan setelah menyelesaikan modul. Daftar isi merinci konten modul, mempermudah siswa dalam menavigasi materi.
Pada bagian pengantar materi, penjelasan konsep-konsep kunci disertai dengan konteks atau latar belakang yang mendukung pemahaman siswa. Materi pembelajaran terdiri dari sub-bab atau bab yang terorganisir, didukung oleh ilustrasi, grafis, atau contoh kasus untuk memperjelas konsep yang disampaikan.
Kegiatan pembelajaran menjadi bagian penting dalam modul. Soal latihan dan tugas memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan konsep yang telah dipelajari. Bagian ini menciptakan ruang bagi siswa untuk berinteraksi aktif dengan materi, menguji pemahaman, dan mengasah keterampilan mereka.
Ringkasan dan evaluasi menjadi penutup yang relevan dalam modul. Ringkasan materi membantu siswa mereview kembali konsep-konsep utama yang telah dipelajari. Evaluasi atau tes kecil memberikan gambaran mengenai pemahaman siswa terhadap materi dan sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai.
Referensi atau sumber bacaan tambahan menciptakan kesempatan bagi siswa yang ingin mendalami materi lebih lanjut. Terdapat petunjuk penggunaan yang memberikan arahan langkah-demi-langkah tentang cara memanfaatkan modul, termasuk tips untuk memaksimalkan pembelajaran.
Akhirnya, lampiran dapat berisi materi pendukung seperti gambar, tabel, atau diagram yang memperkaya pemahaman siswa. Semua komponen ini bersatu dalam suatu desain modul yang terstruktur dan mendukung pembelajaran yang efektif.
Bu Dyah juga mejelaskan mengenai pembelajaran terdiferensiasi. Dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan berdiferensiasi, guru memiliki kebebasan untuk memberikan siswa peluang eksplorasi yang beragam terkait sumber daya alam. Proses ini mencakup langkah-langkah seperti menggoreng, mengukus, atau merebus bahan makanan, di mana siswa diharapkan untuk merencanakan dan mengawasi produk yang dihasilkan dalam Lembar Kerja (LK).
Perbedaan dalam produk mencerminkan variasi bahan dan proses yang digunakan oleh siswa. Guru dapat mengundang orangtua atau saudara siswa untuk menilai produk tersebut dari berbagai aspek, termasuk rasa, inovasi, dan bentuk. Penilaian ini tidak terbatas pada laporan tertulis; siswa dapat menjelaskan produk mereka melalui presentasi visual, foto dokumentasi, atau bahkan rekaman suara sesuai minat mereka.
Meskipun hasil akhir bervariasi, guru memiliki acuan penilaian yang seragam, termasuk penilaian sikap siswa terkait tanggung jawab, disiplin, dan kerja keras. Sementara pengetahuan siswa diukur dari cara mereka menjelaskan proses menghasilkan produk, keterampilan dinilai dari proses tersebut dan cara siswa mengaplikasikannya pada produk makanan dari lingkungan sekitar.
Untuk memahami karakteristik siswa, guru dapat mengamati gaya belajar, menganalisis tugas-tugas sebelumnya, dan mengajukan pertanyaan pemantik tentang kebiasaan belajar mereka. Tantangan dalam pembelajaran berdiferensiasi mungkin melibatkan persiapan materi, instrumen penilaian, dan media pembelajaran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan beragam siswa.
Meski memiliki tantangan, pembelajaran berdiferensiasi memberikan keuntungan bagi siswa, terutama bagi mereka dengan kebutuhan khusus. Penerapan metode ini dapat merangsang siswa untuk memaksimalkan potensi mereka, seperti yang terlihat pada siswa tunarungu yang lebih cepat menyerap materi melalui pendekatan diferensiasi.
Selain itu, pembelajaran ini dapat memancing siswa untuk menjadi lebih aktif dan berinteraksi lebih intensif dengan orangtua dalam membantu dan mengevaluasi pembelajaran mereka. Dengan memberikan kebebasan yang terukur, guru dapat menciptakan ruang pembelajaran yang toleran dan dinamis.