Sexism, Culture, and Firm Value: Evidence from the Harvey Weinstein Scandal and the #MeToo Movement

Selasa, 16 Mei 2023, pukul 15.30 sampai 16.45 WIB, program studi S-1 Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta menyelenggarakan webinar internasional dengan topik “Sexism, Culture, and Firm Value: Evidence from the Harvey Weinstein Scandal and the #MeToo Movement”. Co-organisers webinar ini adalah Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, FEB Universitas Brawijaya, STIE Indonesia, FEB Universitas Islam Malang, FBE Universiti Malaya, dan FBEA Universiti Malaysia Sabah. Pembicaranya ialah Prof. Henri Servaes (London Business School).

Pembicara menjelaskan hal yang berkaitan dengan sexism, budaya, dan nilai perusahaan: bukti dari skandal Harvey Weinstein dan gerakan #MeToo. Pembicara menyampaikan motivasi, tujuan pada hal yang berkaitan dengan pemberantasan ketidaksetaraan gender yang menjadi agenda utama pemerintah dan LSM (dan mungkin perusahaan). Pada bagian pertama beliau menjelaskan mengapa kesetaraan gender mempengaruhi nilai, kemudian menjelaskan kesetaraan gender (atau tidak adanya diskriminasi berbasis jenis kelamin) adalah aspek kunci dari budaya perusahaan yang “baik” dan budaya perusahaan yang “baik” secara keseluruhan diyakini sebagai aset berharga.

Kemudian bagian kedua beliau menyampaikan sebuah tantangan yang ada dengan mendefinisikan dan mengukur budaya perusahaan dan menghubungkannya dengan kausalitas. Kemudian dari tantangan tersebut dijelaskan hal yang dapat dilakukan yaitu dengan fokus pada satu elemen budaya perusahaan dengan mengukur sejauh mana perusahaan melakukan diskriminasi mulai dari dasar seks – sexism, dan memiliki dua elemen yang diperlukan untuk menyelidiki dampak penilaiannya secara empiris.    

Kemudian pada bagian ketiga beliau mengidentifikasi dengan  pengungkapan publik mengenai pelecehan seksual Harvey Weinstein pada 5 Oktober 2017, peristiwa tersebut mengukur sejauh mana pelecehan seksual dan diskriminasi gender yang terjadi di perusahaan. Kemudian setelah mengidentifikasi beliau, menjelaskan pengukuran budaya perusahaan yang sexism dengan persepsi menggunakan kepemimpinan perempuan sebagai proxy untuk budaya non-sexism dan berpendapat bahwa sebuah perusahaan yang memiliki budaya sexism cenderung tidak memiliki seorang wanita di antara eksekutif dengan bayaran tertinggi. Dalam mengukur budaya perusahaan yang sexism ini beliau menjelaskan sesuai dengan hasil survei dan literatur yang menjelaskan budaya sexism itu dapat mencegah perempuan mencapai posisi kepemimpinan dan memiliki seorang wanita di C-Suite dapat meningkatkan kesetaraan dalam organisasi dengan mengurangi kesenjangan gaji gender dan kunci untuk menutup kesenjangan gender ialah menempatkan lebih banyak wanita yang bertanggung jawab.

Kemudian pada bagian keempat setelah mengidentifikasi, mengukur, beliau menunjukan sebuah data statistik  yang menjelaskan kesetaraan gender dalam kepemimpinan perusahaan ialah 17% dari semua anggota dewan adalah perempuan, berarti hal ini menunjukkan adanya kesenjangan gender dalam representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan perusahaan dan 87% dari semua perusahaan memiliki setidaknya satu wanita di dewan. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan menyadari pentingnya inklusi gender dalam pengambilan keputusan perusahaan dengan memasukkan setidaknya satu perempuan dalam dewan. Dilihat dari uji perbedaan (p-value), perusahaan dengan dan tanpa kepemimpinan perempuan mendapatkan Fraksi Dewan Wanita dengan rata-rata 0,00 dan mendapatkan profitabilitas atau keuntungannya sebesar 0,01-0,04. Dalam data statistik ini, menunjukkan bahwa kesetaraan gender dalam kepemimpinan perusahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap nilai dan keuntungan perusahaan. Beliau juga menjelaskan beberapa acara yang mengungkapkan skandal weinstein, dan gerakan #MeToo. Dalam gerakan #MeToo frekuensinya terdapat peningkatan pada pertengahan bulan yakni 15 Oktober 2017 dengan pencapaian 100% dan penurunan setelah tanggal tersebut menjadi 85-20%.

Kemudian pada bagian kelima beliau menjelaskan nilai pemegang saham dan kepemimpinan perempuan dengan pengembalian saham harian yaitu dilihat dari signifikansi ekonominya dalam kasus weinstein: satu tambahan top-5 wanita eksekutif menghasilkan pengembalian 0,29% lebih dari dua hari dan gerakan #MeToo: satu tambahan top-5 wanita yang dilihat dari hasil eksekutif dalam kelebihan pengembalian sekitar 1,13% selama 10 perdagangan. Jadi, Baik CEO wanita maupun eksekutif wanita lainnya penting karena terlihat dari data-data yang diberikan.

Kemudian pada bagian selanjutnya apakah eksekutif perempuan paling penting dalam industri yang didominasi laki-laki? Eksekutif perempuan memiliki signifikansi ekonomi yang penting dalam industri yang didominasi oleh laki-laki. (1) Dalam industri yang didominasi oleh laki-laki, penambahan satu eksekutif perempuan dalam lima eksekutif teratas perusahaan dapat menghasilkan kelebihan pengembalian sebesar 2,8% selama periode 5-27 Oktober. (2) Perusahaan yang menerapkan lingkungan kerja yang ramah perempuan dalam industri ini memiliki pengembalian sekitar 3,3% lebih tinggi daripada perusahaan di industri yang didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, eksekutif perempuan memiliki dampak positif pada kinerja dan pengembalian perusahaan, terutama dalam industri yang didominasi oleh laki-laki. Jadi hal tersebut menunjukkan pentingnya keberadaan perempuan di posisi kepemimpinan dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan berkontribusi terhadap hasil perusahaan yang lebih baik secara ekonomi.

Kemudian pembahasan selanjutnya yaitu perbedaan tingkat negara dalam kesenjangan upah gender, dan sexism. Beliau menjelaskan penelitian yang dilakukan oleh Charles, Guryan, dan Pan pada tahun 2018, menggunakan data dari Survei Sosial Umum (GSS) untuk mengukur tingkat sexism tingkat negara bagian. Mereka fokus pada pertanyaan-pertanyaan spesifik terkait sexism, seperti pernyataan bahwa perempuan seharusnya mengurus rumah dan meninggalkan kepemimpinan negara untuk pria, serta pernyataan bahwa lebih baik jika pria mencapai prestasi di luar rumah dan wanita mengurus rumah dan keluarga. Dengan menghitung ukuran tersebut, mereka mengelompokkan negara-negara menjadi kategori sexism rendah atau tinggi berdasarkan median sampel yang mereka analisis.

Kesenjangan upah gender ini menggunakan data yang berasal dari Survei Penduduk Saat Ini (CPS) pada tahun 2015 dan 2016. Data tersebut mencakup informasi angkatan kerja, pekerjaan, pendapatan, dan karakteristik lainnya. Regresi upah mingguan dilakukan untuk mengestimasi kesenjangan upah gender dengan mengendalikan faktor-faktor seperti pendidikan, pekerjaan, status manajerial, industri, ras, lokasi, dan waktu. Negara bagian dikategorikan berdasarkan median kesenjangan upah gender. Investor mengubah preferensi mereka setelah peristiwa Weinstein/#MeToo, memilih saham perusahaan dengan budaya non-sexism (ESG tinggi). Kenaikan harga saham mencerminkan perubahan preferensi ini. Untuk mekanismenya, diuji dua implikasi: investor institusional meningkatkan kepemilikan di perusahaan non-sexism, dan perusahaan mengubah kebijakan untuk memenuhi preferensi yang berubah. Dan dijelaskan beberapa institusi yang berubah, dan dapat dilakukan dengan mekanisme yang lain yaitu dapat mengukur kendala dalam pasokan tenaga kerja perempuan. Jika ukuran kepemimpinan perempuan mencerminkan kendala pasokan daripada kesetaraan gender, peristiwa tersebut meningkatkan tekanan bagi perusahaan untuk mempekerjakan perempuan. Dalam situasi pasokan tenaga kerja perempuan yang terbatas, perusahaan tanpa pemimpin perempuan mungkin mengalami penurunan penilaian. Mekanisme juga dapat dilihat dari kinerja operasinya.  Perubahan kinerja operasi dapat diukur dari pendapatan operasional/aset, margin, pertumbuhan penjualan, penjualan per karyawan. Mekanisme lainnya juga dapat diukur dari undervaluation (harga sekuritas/investasi  berada pada kondisi dibawah harga normal), dan dapat dilihat dari peningkatan risiko litigasi.

Jadi, pasar menghargai perusahaan dengan budaya non-sexism, terbukti dengan pengembalian yang lebih tinggi bagi perusahaan dengan kepemimpinan perempuan selama Skandal Weinstein dan gerakan #MeToo. Pengaruh kepemimpinan perempuan lebih besar di lingkungan yang lebih sexism, dan efeknya juga terkait dengan tingkat industri dan budaya negara. Setelah peristiwa tersebut, terjadi peningkatan kepemilikan institusional dan keragaman di perusahaan dengan atau tanpa pemimpin perempuan. Perubahan preferensi investor merupakan faktor yang paling konsisten dalam hal ini. Tidak ada bukti undervaluasi sebelumnya, perubahan kinerja operasional, dampak pasokan tenaga kerja, litigasi, atau biaya yang terkait dengan pelecehan. Perubahan sikap masyarakat terhadap perempuan juga tercermin dalam pasar modal secara signifikan.

 

Dokumentasi Acara:

Pembukaan yang dilaksanakan Korprodi Manajemen FE UNJ yaitu Prof. Dr. Suherman, M.Si (sebagai moderator). Pada pukul 15.30 – 15.35 WIB.

 

Dilanjut Sambutan Dekan FE UNJ yang diwakilkan oleh Dr. Indra Pahala, M.Si Pada pukul 15.35 – 15.40 WIB.

 

 

Penyampaian Materi oleh Henri Servaes (London Business School),  Pada pukul 15.40 – 16. 25 WIB.

                         
 

Setelah selesai penyampaian materi dilanjut tanya jawab. Pada pukul 16.25 -16. 40 WIB.

  

Setelah selesai tanya jawab dilanjut penutupan pukul 16.40 – 16.45 WIB.

 

 

Link Video : Klik disini